Catatan Kang Irwan

Catatan Peristiwa, Informasi, dan Perihal Daerah Pemilihan 3 Jatim (Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo)

Keuangan Daerah Dituding Bermasalah Oktober 27, 2008

Filed under: Pro Otonomi — kangirwan @ 3:34 am

Pemerintah pusat terus saja menyalahkan daerah. Setelah perda (peraturan daerah) yang diobok-obok -dituding bermasalah-, giliran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menuding adanya dugaan penyimpangan pengelolaan keuangan daerah. Sudah bersihkah pengelolaan keuangan pusat? Berikut analisi Peneliti The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) Dadan S. Suharmawijaya .

———–

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan sejumlah kelemahan pengelolaan keuangan daerah. Hal itu disebut dalam ikhtisar laporan yang dibacakan Ketua BPK Anwar Nasution di depan Rapat Paripurna DPR pada Selasa (21/10). Dalam laporan BPK itu, antara lain, ditemukan pertanggungjawaban belanja daerah tanpa bukti memadai sebesar Rp 1,96 triliun. Ada juga kekurangan volume atau kelebihan pembayaran yang merugikan keuangan daerah minimal Rp 77,39 miliar.

Pengelolaan anggaran daerah tanpa mekanisme APBD sebesar Rp 626,27 miliar. Ditemukan pula anggaran pemberian bantuan kepada instansi vertikal yang tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp 51,4 miliar. Selain itu, ada penyertaan modal pemda pada BUMD tanpa bukti kepemilikan sebesar Rp 446,94.

Dalam kacamata akuntansi sektor publik, tidak ada yang salah dari temuan BPK tersebut. Sudah jadi kewajiban temuan tersebut diungkap ke publik. Persoalannya terletak pada isu keburukan daerah yang seakan lebih ditonjolkan daripada temuan yang sama terhadap hasil pemeriksaan yang sama pada instansi pusat. Pejabat pusat, politisi, maupun akademisi gayung bersambut menghujat daerah.

Memang ada banyak kelemahan daerah dalam hal itu. Tetapi, bila dikritisi lebih dalam, persoalan tersebut tidak sepenuhnya kesalahan daerah. Beberapa hal lebih disebabkan pemerintah pusat.

Contoh konkret ialah tingkat penyerapan anggaran yang minim sampai pertengahan tahun anggaran. Akibatnya, banyak proyek yang pelaksanaannya dipercepat pada akhir tahun. Sebagian besar model penggunaan APBD semacam itu pasti bermasalah.

Salah satu penyebab hal itu adalah nota keuangan negara yang memang terlambat prosesnya di tingkat pusat. Hal ini berakibat kepada molornya pencairan anggaran serta berefek pada tertundanya sejumlah proses penganggaran publik dan proyek pembangunan di daerah.

Sejumlah pihak menengarai kelemahan pengelolaan keuangan daerah terjadi karena lemahnya pengawasan. Hal ini pun tidak sepenuhnya benar. Penyusunan APBD, selain melalui sejumlah proses di daerah, juga melalui mekanisme pemerintah pusat. Baik di tingkat Departemen Dalam Negeri maupun Departemen Keuangan. Sejumlah regulasi yang dikeluarkan pemerintah pusat pun sangat ketat mengatur hal itu. Bahkan terkesan mengekang, seperti PP 13/2004.

Semangat reformasi birokrasi melalui perbaikan pengelolaan keuangan negara memang tidak bisa tebang pilih. Dalam hal ini, bukan melulu pemerintah daerah yang menjadi sasaran, tetapi juga pemerintah pusat. Bukankah sejumlah temuan BPK ada pula yang memunculkan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat). Misalnya, atas neraca keuangan Kejaksaan Agung serta beberapa instansi pemerintah pusat hasil audit tahun ini.

Bagaimana kelanjutan opini disclaimer atas sejumlah laporan keuangan instansi pusat tersebut? Hal ini harus pula dipermasalahkan. Dalam kacamata awam, opini disclaimer diperoleh dari laporan keuangan yang tidak bisa dibaca atau tidak sesuai dengan standar akuntansi. Artinya, secara keseluruhan terdapat kesalahan akuntansi. Kasus demikian tidak ditindaklanjuti. Sementara laporan keuangan yang terbaca, kemudian ditemukan kesalahan pada sebagian kecil laporan keuangan tersebut, diusut sampai tuntas. Dalam banyak kasus, kesalahan administrasi keuangan daerah langsung ditarik menjadi persolan pidana. (mk/e-mail: dadan@jpip.or.id)

 

Tinggalkan komentar