Catatan Kang Irwan

Catatan Peristiwa, Informasi, dan Perihal Daerah Pemilihan 3 Jatim (Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo)

Anggaran Pendidikan dalam APBD; Amanat UUD Terancam Mubazir Oktober 27, 2008

Filed under: Uncategorized — kangirwan @ 3:28 am

Pemerintah berusaha memenuhi anggaran pendidikan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Alokasi anggaran pendidikan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009 pun meningkat tajam. Bagaimana implikasi putusan tersebut di daerah? Berikut ulasan Nur Hidayat dari The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).

Hanya berselang sehari setelah dibacakannya putusan MK Nomor 13/PUU-VI/2008, pemerintah segera merevisi RAPBN 2009. Hasilnya, anggaran pendidikan yang semula dipatok Rp 210 triliun dipastikan bertambah menjadi Rp 224,4 triliun. Konon, angka itu setara dengan 20 persen RAPBN 2009.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo mengatakan bahwa anggaran sebesar itu tidak hanya dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), tapi juga Departemen Agama dan daerah (Jawa Pos, 16/8/2008).

Pada kesempatan lain, Bambang juga menyatakan, dari total anggaran pendidikan Rp 224,4 triliun itu, gaji guru menyerap 27 persen atau lebih dari seperempat anggaran. Masuknya gaji guru ke dalam perhitungan anggaran pendidikan itu tidak terlepas dari putusan MK sebelumnya.

Dalam amar putusan Nomor 24/PUU-V/2007 yang dibacakan pada 20 Februari lalu, MK menyatakan, pasal 49 ayat (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sepanjang mengenai frasa ”gaji pendidik dan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, gaji pendidik (guru dan dosen) harus dihitung sebagai bagian dari anggaran pendidikan.

Putusan MK tersebut dikeluarkan atas permohonan pengujian UU Sisdiknas pasal 49 ayat (1) terhadap UUD 1945 yang diajukan Rahmatiah Abbas dan Badryah Rifai. Dalam catatan JPIP, putusan tersebut telah memicu kekecewaan banyak kalangan. Bukan hanya guru dan pemerhati pendidikan, tiga orang hakim konstitusi juga menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinions) terhadap putusan tersebut.

Tak Banyak Perubahan

Jika putusan MK No 13/PUU-VI/2008 diduga akan membawa implikasi positif bagi kenaikan signifikan anggaran pendidikan dalam APBN, bagaimana alokasi anggaran pendidikan dalam APBD? Mungkinkah implikasi serupa akan dapat dirasakan masyarakat?

Merujuk data APBD 2007 kabupaten/kota di Jawa Timur, tampaknya, postur APBD tahun depan tidak akan banyak berubah. Sebab, dengan masuknya gaji guru ke perhitungan anggaran pendidikan, hanya terdapat empat daerah yang perlu melakukan ”penyesuaian” dengan putusan MK tersebut.

Meski sudah memasukkan gaji pendidik ke perhitungan, keempat daerah yang alokasi anggaran pendidikannya belum mencapai 20 persen tersebut adalah Kota Mojokerto, Kota Kediri, Kota Batu, dan Kota Surabaya. Kesimpulan itu diperoleh dari analisis terhadap alokasi belanja dinas pendidikan kabupaten/kota dalam APBD 2007.

Pada 2007, Kota Mojokerto mengalokasikan belanja dinas pendidikan Rp 64,51 miliar atau setara 12,86 persen APBD. Jumlah itu diperuntukkan belanja tak langsung Rp 36,33 miliar (7,24 persen) dan belanja langsung Rp 28,18 miliar (5,62 persen).

Sementara itu, Kota Kediri mengalokasikan anggaran Rp 91,69 miliar atau setara dengan 15,4 persen APBD. Untuk belanja tak langsung, kota penghasil tahu itu membelanjakan dana Rp 51,22 miliar (8,6 persen) dan belanja langsung Rp 40,47 miliar (6,8 persen). Disusul Kota Batu dengan alokasi belanja Rp 54,31 miliar (18,57 persen) yang terdiri atas belanja tak langsung Rp 31,56 (10,79 persen) dan belanja langsung Rp 22,74 (7,78 persen).

Sedangkan Kota Surabaya yang secara nominal mengalokasikan belanja pendidikan terbesar dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Timur ternyata hanya mencatatkan angka 19,19 persen. Rinciannya, Rp 369,84 miliar (14,64 persen) dialokasikan untuk belanja tak langsung dan Rp 114,97 miliar (4,55 persen) diperuntukkan belanja langsung.

Meski tidak seratus persen belanja tak langsung dinas pendidikan diperuntukkan gaji pendidik, jenis belanja itu hampir dapat dipastikan menyedot porsi terbesar. Sebab, jenis belanja tersebut umumnya digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan pegawai. Padahal, sebagaimana kita ketahui, mayoritas pegawai dinas pendidikan adalah pendidik.

Di luar keempat kota tersebut, JPIP mencatat delapan daerah yang mengalokasikan belanja dinas pendidikan 21-30 persen APBD. Yaitu, Kota Pasuruan (21,43 persen), Kota Probolinggo (21,95 persen), Kabupaten Gresik (24,27 persen), Kabupaten Sidoarjo (25,19 persen), Kota Blitar (25,60 persen), Kabupaten Bangkalan (26,12 persen), Kabupaten Sumenep (27,36 persen), dan Kabupaten Probolinggo (28,52 persen).

Sementara itu, 24 daerah yang lain mengalokasikan belanja dinas pendidikan 31-40 persen APBD. Daerah dalam kelompok itu rata-rata menghabiskan lebih dari 20 persen APBD untuk belanja tak langsung, kecuali Kabupaten Sampang (19,97 persen). Kabupaten Magetan mencatat persentase belanja tertinggi 39,29 persen atau setara dengan Rp 246,14 miliar.

Kota Madiun sebagai satu-satunya kota kecil yang masuk kelompok tersebut telah menghabiskan 38,78 persen APBD untuk belanja dinas pendidikan atau setara Rp 118,66 miliar. Rinciannya, 31,69 persen (Rp 96,98 miliar) untuk belanja tak langsung dan 7,09 persen (Rp 21,69 miliar) untuk belanja langsung.

Selain itu, dua daerah yang lain membelanjakan lebih dari 40 persen APBD untuk keperluan dinas pendidikan. Kabupaten Trenggalek mencatat belanja 40,93 persen dan Kabupaten Blitar sebesar 41,90 persen. Kedua daerah itu membutuhkan sekitar 35 persen APBD untuk belanja tak langsung dinas pendidikan (lihat grafis).

Dengan gambaran itu, ada beberapa hal yang dapat dilakukan masyarakat. Pertama, untuk keempat daerah dalam kelompok pertama, masyarakat harus mengingatkan pemerintah daerah mereka bahwa pelanggaran terhadap amanat konstitusi bisa berakibat pada pemakzulan.

Kedua, untuk delapan daerah dalam kelompok kedua (21-30 persen), msyarakat harus menegaskan kepada jajaran eksekutif dan legislatif bahwa persentase 20 persen adalah batas minimal yang diamanatkan konstitusi. Artinya, dengan masuknya gaji pendidik ke perhitungan anggaran pendidikan, pekerjaan rumah mereka tidak otomatis selesai. Peringatan yang sama dapat diberikan kepada 24 daerah dalam kelompok ketiga (31-40 persen dan dua daerah dalam kelompok keempat.

Satu hal yang patut diwaspadai adalah terjadinya praktik pembukuan ganda. Sebab, sebagaimana diungkapkan Mendiknas, anggaran pendidikan dalam APBN tidak seluruhnya dikelola Depdiknas. Tapi, ada juga yang disalurkan ke daerah melalui pos dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK).

Di atas itu semua, peningkatan mutu pendidikan membutuhkan kemauan politik kepala daerah yang diwujudkan dalam langkah nyata yang sistematis dan berkesinambungan. Tanpa langkah nyata itu, amandemen keempat UUD 1945 akan terancam mubazir dan hanya menjadi macan kertas. (mk/E-mail: hidayat@jpip.or.id)

 

Tinggalkan komentar